Sejarah

Sebuah perahu dagang (skunar) terdampar di pantai timur Kerajaan Badung pada jam 06.00 tanggal 27 Mei 1904. Perahu dagang itu bernama Sri Komala berbendera Belanda yang berlayar dari Banjarmasin mengangkut barang dagangan milik pedagang Cina bernama Kwee Tek Tjiang.

 

Oleh karena kandas dan perahu pecah, maka para penumpang Sri Komala menurunkan barang yang masih bisa diselamatkan antara lain peti kayu, peti seng dan koper kulit. Nakhoda meminta bantuan kepada syahbandar di Sanur untuk menjaga keamanan barang-barang yang diturunkan. Atas permintaan pemilik barang dan atas saran Sik Bo, seorang warga Cina di Sanur, peristiwa kandasnya perahu dilaporkan kepada Ida Bagus Ngurah, penguasa daerah Sanur dengan tujuan untuk ikut mengamankan barang-barang yang telah diturunkan itu.

 

Sesuai keterangan Kwee Tek Tjiang dan sesuai juga dengan keterangan nakhoda yang diutus serta didampingi Sik Bo pada waktu menghadap Ida Bagus Ngurah, dilaporkan bahwa barang dagangan yang diangkut terdiri dari gula pasir, minyak tanah, dan terasi. Untuk memeriksa kebenaran laporan itu, Ida Bagus Ngurah selaku penguasa Sanur berangkat ke tepi pantai untuk memeriksa langsung. Isianya ternyata sesuai dengan laporan, dan ada tambahan barang berupa roti kering dan sedikit uang kepeng. Berkat bantuan 11 orang tenaga kerja, barang-barang yang masih tersisa di kapal diturunkan dan diangkut. Kesebelas orang itu melakukan tugasnya dengan jujur dan tidak ada yang mencuri.

 

Utusan Raja Badung datang ke pantai mengadakan pemeriksaan pada tanggal 29 Mei 1904, dua hari setelah perahu itu terdampar. Pada waktu itulah Kwee Tek Tjiang membuat laporan palsu kepada utusan raja dan menyatakan rakyat telah mencuri 3700 ringgit uang perak serta 2300 uang kepeng. Tentu saja laporan ini tidak dapat diterima oleh utusan raja karena tidak disertai bukti.

 

Oleh karena tidak puas, Kwee Tek Tjiang menghadap langsung kepada Raja Badung yang menolak pengaduan itu, karena selain dipandang tidak sesuai, Kwee Tek Tjiang juga menuduh rakyat Badung merampas perahu itu pada tanggal 27 Mei 1904. Tuduhan itu diulangi lagi oleh residen setelah mendapat laporan, dan bahkan langsung menuntut agar Raja Badung memberikan ganti rugi sebesar 3000 ringgit. Oleh karena rakyat telah menyatakan kejujurannya melalui sumpah, maka pihak Raja Badung tetap pada keyakinannya bahwa apa yang dituduhkan itu hanya merupakan tipu muslihat.

 

Keyakinan yang teguh dari raja dan rakyat Badung dipandang membahayakan kedudukan pemerintah kolonial di Bali, khususnya Residen (J. Escbach, kemudian G. Bruyn Kops sejak tahun 1906). Perlu diketahui bahwa Van Hentz, Gubernur Jenderal di Batavia sangat berambisi untuk menaklukan seluruh Hindia Belanda, bahkan dapat memecat residen apabila dipandang perlu.

 

Oleh karena itu residen dan bawahannya perlu menyelamatkan kedudukannya meskipun harus mengorbankan kedaulatan Raja Badung. Residen J. Escbach mengusulkan agar Raja Badung tetap dikenakan denda 3000 ringgit (7500 gulden). Meskipun telah diultimatum, Raja Badung saat itu, I Gusti Ngurah Denpasar, tetap menolak tuiduhan dan tuntutan sampai batas waktu pada tanggal 9 Januari 1905.

 

ImagePenolakan tegas Raja Badung mengakibatkan pemerintah kolonial mengirim kapal angkatan laut ke perairan Badung untuk melakukan blokade ekonomi. Tindakan kejam pemerintah kolonial melalui patroli angkatan lautnya semakin sering dilakukan, lebih-lebih sikap raja Badung yang tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah terhadap tuntutan ganti rugi. Meskipun pihak kerajaan Badung mengalami kerugian setiap hari sebesar 1500 ringgit dari pemasukan pelabuhan akibat blokade ekonomi itu, Raja Badung tetap tegus pada keyakinannya menolak tuduhan Gubernurmen. Sementara itu blokade ekonomi di darat juga dilakukan dengan cara bekerja sama dengan raja-raja tetangga seperti Gianyar, Bangli, Klungkung, Tabanan, dan Karangasem, namun kerajaan-kerajaan tetangga itu sulit memutuskan hubungan dengan Raja Badung karena kepentingannya masing-masing. Blokade ekonomi yang dilancarkan di laut atau di darat ternyata gagal dan tidak mampu membuat Raja Badung menyerah. Kondisi ini mengakibatkan semakin tegangnya hubungan politik antara Kerajaan Badung dan Pemerintah Gubernurmen.

 

Oleh karena Raja Badung tetap pada keyakinannya, maka Gubernur Jenderal Van Hentzs mengirim surat secara langsung kepada Raja Badung pada tanggal 17 Juli 1906. selain kepada I Gusti Ngurah Pemecutan dan I Gusti Ngurah Denpasar, Van Hentzs juga mengirim surat kepada Raja Tabanan, I Gusti Ngurah Agung, raja yang dengan tegas memihak Raja Badung. Surat Gubernur Jenderal itu pada pokoknya mengulangi tuntutan pemerintah yang diajukan sebelumnya, bahkan jumlah ganti rugi yang dituntut lebih besar yaitu 5173 ringgit (12.932,50 gulden). Jumlah ini termasuk biaya blokade yang sudah dikeluarkan pemerintah Gubernurmen dan harus dibayar oleh Raja Badung. Substansi penting dari isi surat itu adalah batas waktu yang diberikan. Gubernur Jenderal mengancam akan mengambil tindakan militer apabila Raja Badung dan Tabanan tidak memberikan jawaban yang memuaskan sampai tanggal 1 September 1906.

 

Ancaman dari Gubernur Jenderal di Batavia tidak sedikitpun mengubah pendirian Raja Badung. Sekalipun pemerintah tertinggi Hindia Belanda di Batavia mengeluarkan surat perintah untuk mengadakan untuk mengadakan untuk mengadakan ekspedisi militer pada tanggal 4 September 1906, Raja Badung telah siap menanggung resiko demi membela kedaulatan kerajaan (Nindihin Gumi Lan Swadharmaning Negara). Dengan didahului pernyataan sumpah menurut Agama Hindu, raja dan rakyat Badung lebih yakin untuk menolak ultimatum dan ancaman Belanda.

 

ImageEkspedisi militer V sampai di Selat Badung pada tanggal 12 September 1906. Kekuatan armadanya berjumlah 16 buah kapal, yaitu 9 buah kapal perang, dan 7 buah kapal pengangkut. Kapal-kapal perang tersebut di antaranya ”De Hortog Hendrik, Koningin Wilhelmena, Der Nederlander”, dilengkapi dengan meriam berbagai kaliber. Seluruh personil yang ikut dalam ekspedisi itu berjumlah 3053 orang yang terdiri atas 2312 orang personil militer dan 741 orang sipil termasuk wartawan perang.

 

Utusan dikirim pada sore harinya untuk menyampaikan ultimatum kepada Raja Badung dan Tabanan agar menyerah dalam tempo 2 x 24 jam. Ultimatum ditolak tegas, sehingga pasukan Belanda mendarat di Pantai Sanur pada tanggal 14 September 1906. Pabean Sanur diduduki dan dijadikan benteng pertahanan mereka untuk melakukan serangan ke arah Kesiman sebagai benteng terdepan Raja Badung.

 

Laskar Badung yang sudah siap perang memperkuat bentengnya masing-masing di depan Puri Kesiman, Denpasar, dan Pemecutan. Dengan gagah berani mereka berani menjaga puri meskipun dihujani tembakan meriam dari Kapal ”De Hortog Hendrik”. Keesokan harinya Laskar Badung menduduki beberap desa yaitu Taman Intaran, Buruan, dan Sindu. Di Sindu terjadi kontak senjata antara Laskar Badung dan Batalyon 11 Pasukan Belanda.

 

Namun Laskar Badung yang datang dari Kelandis dan Bengkel bergerak menuju Kepisah dan mencapai Tanjung Bungkak, menyusul 500 laskar dari Kesiman di bawah pimpinan I Gusti Gde Ngurah Kesiman bergerak ke selatan. Sebagian dari mereka bersenjatakan tombak, keris, pedang, dan senapan telah menduduki sebagian besar wilayah Sanur. Mengetahui kehadiran laskar Badung yang terutama terlihat jelas dari Laskar Tombak, maka pasukan Belanda melepaskan tembakan salvo dari benteng pertahanan mereka yang berjarak hanya 100 meter. Terjadilah pertempuran hebat, satu melawan satu di seluruh Desa Sanur pada tanggal 15 September 1906. Di kedua pihak jatuh korban. Pasukan Belanda banyak yang mengalami luka-luka, sedangkan dari Laskar Badung tercatat 33 orang tewas dan 12 orang luka akibat tembakan meriam.

 

 

 

Laskar Badung di Renon memasang ranjau dari bambu untuk membendung dan menghambat serangan pasukan kavaleri Belanda yang menggunakan kuda. Pertahanan di desa-desa yang mengelilingi 3 puri, yaitu Puri Kesiman, Puri Denpasar, dan Puri Pemecutan diperkuat termasuk desa-desa di Renon, Lantang Bejuh, Sesetan, Panjer, Kelandis, Bengkel, dan Tanjung Bungkak.

 

Pasukan Belanda di bawah pimpinan Rost Van Toningen bergerak meninggalkan benteng di Pabean Sanur pada tanggal 16 September 1906, jam 07.00. Pasukan itu bergerak mengikuti jalan besar ke sebelah barat menuju Tanjung Bungkak, yang terdiri atas batalyon 18 dan 20, sedangkan batalyon 11 bergerak di sebelah kiri. Kedatangan batalyon 18 dan 20 di Desa Panjer disambut oleh serangan gencar dari sekitar 2000 orang anggota Laskar Badung. Karena matahari hampir terbenam, dengan cepat pasukan Belanda meninggalkan medan pertempuran untuk kembali ke bentengnya di Sanur. Pada waktu mereka tiba di benteng, sekitar 30 orang anggota laskar Kerajaan Badung dari Kesiman menyerang Pabean Sanur namun tembakan yang dilepaskan angkatan laut Belanda berhasil memukul mundur laskar kerajaan. Perang sehari pada tanggal 16 September di sekitar Panjer dan Sesetan sangat melelahkan pasukan Belanda, sehingga keesokan harinya pada tanggal 17 September 1906 pasukan Belanda lebih banyak tinggal di benteng untuk membahas taktik penyerangan terhadap kota dan ketiga puri Kerajaan Badung. Meskipun demikian, meriam artileri yang ditempatkan dekat benteng mulai ditembakkan bersama-sama dengan tembakan meriam dari kapal perang. Tembakan-tembakan meriam itu diarahkan ke Puri sekitar kota dan Puri kesiman.

 

Taktik untuk menyerang dan mengepung ibu kota dari sebelah utara atau dari belakang Puri Denpasar yang didahului dengan penyerangan ke Puri Kesiman, baru diputuskan pada tanggal 18 September 1906. Keputusan itu baru diambil dengan pasti setelah ada laporan dari mata-mata Belanda bahwa I Gusti Gde Ngurah Kesiman yang ikut menyerang benteng Belanda di Sanur telah terbunuh.

 

Pada Tanggal 18 September 1906, sejak jam 08.00 sampai dengan jam 18.00, meriam penembak yang teletak disebelah kanan benteng ditembak kearah kota. Sebanyak 216 tembakan meriam diarahkan ke Puri Pemecutan dan Denpasar, beberapa mengenai Puri dan lebih banyak jatuh diluarnya. Sebanyak 1.500 orang laskar yang tidak gentar menghadapi gertakan Belanda melalui tembakan meriam, kemudian memperkuat benteng pertahanan di tepi timur Kesiman, di dekat kebun kelapa antara Tepi sungai Ayung dan Desa Tangtu.

 

Pada tanggal 19 September, jam 07.45, Pasukan Belanda sudah siap menyerang Kesiman. Gerakan Pasukan Belanda dimulai dari Pantai menuju keutara. Sementara itu laskar Kerajaan Badung yang mempertahankan Desa Tangtu menyerang Rost Van Toningen pada batalyon 20 sehingga seorang prajurit Belanda luka berat. Serangan laskar Badung dapat dihentikan oleh 2 peleton batalyon 11 yang mengejar. Mereka melanjutkan serangannya untuk menduduki Puri Kesiman dengan kekuatan 3 batalyon yaitu batalyon 11 mengambil posisi sayap kanan, batalyon 20 ditengah dan batalyon 18 diposisi sayap kiri disebelah timur sungai Ayung.

 

Pada jam 10.45 kedudukan laskar kerajaan Badung sudah mendekati jarak 350 meter dari pasukan Belanda yang paling depan, sehingga asap mesiu yang mengepul sekitar kedudukan laskar Badung menjadi sasaran tembak pasukan Belanda. Laskar Badung maju dengan magsud melawan dengan sangat berani dan heroic, tetapi tembakan gencar mengenai mereka dan roboh. Kelemahan pada pihak laskar Badung terletak pada teknik persenjataan. Meskipun menggunakan meriam kecil (lila) dengan tembakan yang sangat lambat namun ternyata senjata ini menjadi pembangkit semangat untuk berperang. Semangat heroic yang rela berkorban, berperang sampai titik darah penghabisan dan pantang menyerah adalah kewajiban leluhur setiap laskar Badung di Kepisah maka Puri Kesiman dapat diduduki oleh tiga batalyon pasukan Belanda pada jam 15.30. Jatuhnya pertahanan di Puri Kesiman mempermudah pasukan Belanda kesebelah barat untuk menuduki Puri Denpasar dan Puri Pemecutan.

 

Pasukan belanda bergerak kearah Barat meninggalgan Puri Kesiman dan menuju tepi Barat Desa Sumerta pada tanggal 20 September 1906, jam 07.00 bersamaan dengan gerakan pasukan, tembakan meriam dari benteng belanda di Sanur diarahkan ke Puri Denpasar dan Pemecutan, sebanyak 60 peluru meledak di dalam dan sekitar puri sehingga menimbulkan kerusakan.

 

Laskar Badung ditepi barat Desa Sumerta melakukan perlawanan untuk mempertahankan tepi timur Denpasar. Pada jam 08.00 pasukan Belanda dibagi tiga bagian. Batalyon 18 berbaris kesebelah kiri menuju Desa Kayumas, batalyon 11 kesebelah kanan jalan (utara) menuju batas Timur Denpasar. Pada waktu batalyon 18 berangkat keselatan, sejumlah laskar Badung yang mempertahankan Kayumas menembak dengan meriam (lila) tetapi dibalas pasukan Belanda. Pada jam 09.00 Raja I Gusti Ngurah Denpasar telah mendengar bahwa pasukan Belanda telah masuk ke kota Denpasar. Di Puri Denpasar telah berkumpul keluarga dan pengikut swetia Raja, kira-kira 250 orang, Raja memerintahkan untuk membakar Puri Denpasar.

 

Pada Jam 10.30, batalyon 11 pasukan Belanda telah menduduki perempatan. Pada jalan Denpasar menuju Tangguntiti. Pada jam 11.00 Raja dan Rombongannya keluar puri. Laki-laki dan Wanita semuanya membawa senjata yang terdiri atas keris dan tombak. Anak-anak juga demikian dan bayi digendong. Rombongan ini bergerak kesebelah utara melalui pintu gerbang Puri dan keluar jalan besar, sampai di persimpangan jalan Jero Belaluan. Rombongan meneruskan perjalanan sampai jarak sekitar 300 meter dari batalyon 11.

 

Rombongan diperintahkan untuk berhenti melalui penterjemah. Meskipun sudah berulang kali diperingatkan, tetapi rombongan maju terus hingga semakin dekat, sampai mjarak 100 meter, 80 sampai 70 langkah dari kedudukan pasukan Belanda, pada jarak terakhir, raja dan rakyat Badung berlari kencang dengan tombak dan keris terhunus menerjang musuh.

 

Saat itulah tembakan salvo dilepaskan sehingga beberapa orang jatuh tersungkur termasuk raja I Gusti Nguah Gde Denpasar, Raja Badung Gugur. Pengikut yang masih hidup melanjutkan penyerbuannya dan tembakan gencar pasukan Belanda diteruskan. Pada waktu itulah terjadi peristiwa yang mengerikan bagi orang Belanda. Dengan Cara melawan Pantang menyerah, berperang sampai titik darah penghabiskan, raja dan rakyat Badung rela dan iklas membela kebenaran yang luhur. Tewas membela kebenaran adalah sorga bagi mereka dan keyakinan ini tetap teguh mereka pegang sampai saat terakhir, sesuai dengan ajaran agam mereka, Hindu.

 

Rombongan kedua dari Puri, kemudian muncul dijalan besar, dipimpim oleh saudara tiri raja yang masih berumur 12 tahun dengan tombak yang sangat panjang di tangan dan hampir keberatan, pasukan Belanda dikepung. Saat itu, komandan pasukan dan juru bahasapun memperingatkan agar berhenti, tetapi rombongan ini tidak menghiraukan dan menyerang dengan ganas. Satu persatu mereka gugur kena peluru. Tumpukan mayat sebelumnya semakin bertambah.

 

ImageSementara itu, di dekat perempatan jalan dari Denpasar menuju Tangguntiti dan Kesiman masih terjadi serangan laskar kerajaan Badung. Laskar Badung yang masih menduduki Jero Taensiat melakukan serangan sporadis terhadap kedudukan pasukan Belanda. Oleh karena peperangan yang tidak seimbang antara pasukan militer propesional lengkap dengan persnjatan modern pada waktu itu terhadap laskar konvensional yang hanya memiliki jiwa dan semangat pantang menyerah dalam mempertahankan kedaulatan negeri dengan segala patriotisme dan heroismenya, maka setiap serangan pelawanan laskar Badung dapat dijinakkan.

 

Pasukan Belanda bergerak keselatan menuju dan menduduki Puri Denpasar pada jam 13.00 dari depan Puru Denpasar, pasukan Belanda melanjutkan penyerangannya ke Puri Pemecutan pada jam 15.00.

 

Raja Badung dari Puri Pemecutan, I Gusti Gde Ngurah Pemecutan, memerintahkan untuk membakar Puri sebelum melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda. Pada jam 15.00 batalyon sudah meninggalkan halaman depan Puri Denpasar dan sampai di Puri Suci tidak terjadi perlawanan laskar kerajaan Badung, sebab konsentrasi pertahanan Kerajaan Badung berada disebelah kiri depan Puri Pemecutan. Tembakan gencar yang dilepaskan pasukan belanda bertujuan membebaskan jalan didepannya dari serangan mendadak laskar Badung karena sejumlah laskar semakin mendekati kedudukan pasukan Belanda.

 

Laskar Kerajaan Badung yang bertahan diseberang sungai melepaskan tembakan kearah batalyon 18 setelah jarak tembak 700 meter dan tepat mengenai sasaran sehingga 2 orang dari pasukan Belanda menjadi korban. Dibalas dengan tembakan artileri meriam kaliber 3,7 mengakibatkan Laskar Badung berguguran.

 

Pasukan Belanda bergerak maju mendekati Puri Pemecutan dan pada waktu itu serangan laskar Badung dilakukan. Raja I Gusti Ngurah Pemecutan yang di usung dengan tandu berkumpul dengan para punggawa, istri, dan keluarganya di Puri Pemecutan. Semuanya bergerak menyongsong kehadiran pasukan Belanda.

 

ImageKelompok laskar di sana-sini bermunculan menyerang dengan tombak dan senapan dari jarak yang agak jauh. Rombongan raja bergerak secara perlahan mendekati pasukan Belanda. Setelah posisi mereka sangat dekat dengan posisi pasukan Belanda, raja pasukannya bergerak semakin cepat dan langsung menerjang pasukan Belanda. Pada pertarungan sengit itulah raja dan pasukannya gugur satu per satu. Akhirnya pada pukul 18.00 perlawanan laskar Badung di Pemecutan yang merupakan benteng terakhir terhenti. Belanda berhasil menduduki Puri Pemecutan.

 

Puputan Badung adalah sebuah bentuk perang perlawanan terhadap ekspedisi militer pemerintah kolonial Belanda V di Badung. Puputan Badung berarti pula bentuk reaksi terhadap intervensi penguasa Belanda terhadap kedaulatan masyarakat Badung. Bagi masyarakat Bali di Badung, puputan berarti juga sikap mendalam yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur, yaitu ksatria sejati, rela berkorban demi kedaulatan dan keutuhan negeri (Nindihin Gumi Lan Swadharmaning Negara) membela kebenaran dan keadilan (Nindihin Kepatutan) serta berperang sampai tetes darah terakhir.

 

Oleh karena itu ”Puputan” yang menjadi tekad bersama raja-raja, para bangsawan dan seluruh rakyat di Badung sama sekali bukanlah refleksi keputusasaan, justru perang Puputan Badung 20 September 1906 merupakan fakta sejarah tak terbantahkan tentang jiwa kepahlawanan dan kemanunggalan raja dan rakyat Badung. Berdasarkan bukti-bukti historis yang ada, jelas bahwa raja-raja dan rakyatnya betul-betul tulus iklas dan berani (laskarya) melakukan perang ”Puputan” sebagai bentuk keputusan bersama untuk mempertahankan kedaulatannya dari Belanda.

 

Fakta sejarah Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906, akan tetap abadi tidak saja dalam catatan sejarah perjalanan negeri ini, namun juga dalam hati sanubari rakyat di seluruh negeri. Perang yang menelan 7000 korban jiwa itu patut menjadi suri teladan tidak hanya bagi rakyat Badung, namun bagi seluruh insan tanah air di masa kini, untuk senantiasa berjuang mencapai cita-cita kemerdekaan Bangsa Indonesia sampai titik darah penghabisan.

Sarana
  
Moda Suara
  
Perbesar Teks
  
Perkecil Teks
  
Skala Abu - Abu
  
Kontras Tinggi
  
Latar Gelap
  
Latar Terang
  
Tulisan Dapat Dibaca
  
Garis Bawahi Tautan
  
Rata Tulisan
  
Atur Ulang